
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia bersama Pharmaceuticals and Medical Devices Agency (PMDA) Jepang dan Fakultas Farmasi Universitas Indonesia secara resmi meluncurkan proyek dua tahun bertajuk ASEAN-Japan Medical Devices Regulatory Training 2025.
Proyek ini didukung oleh Japan-ASEAN Integration Fund (JAIF) serta mendapatkan dukungan tambahan dari Japan International Cooperation Agency (JICA). Tujuannya adalah memperkuat kapasitas regulator alat kesehatan di kawasan ASEAN guna mendorong harmonisasi regulasi yang responsif terhadap perkembangan teknologi medis.
Pelaksanaan tahun pertama dimulai pada 14 hingga 16 Mei 2025 di The Westin Jakarta. Rangkaian kegiatan mencakup simposium satu hari yang dihadiri oleh sekitar 400 peserta luring dan 200 peserta daring, serta seminar dua hari yang diikuti oleh 40 regulator alat kesehatan dari negara-negara ASEAN. Forum ini menjadi ajang strategis bagi pertukaran pengetahuan antara regulator, akademisi, pelaku industri, dan asosiasi alat kesehatan dari tingkat regional hingga internasional.
Dalam sambutan pembuka, Wakil Menteri Kesehatan RI Prof. Dante Saksono Harbuwono dan Duta Besar Jepang untuk ASEAN H.E. Kiya Masahiko menegaskan pentingnya kolaborasi ASEAN dan Jepang dalam memperkuat sistem regulasi alat kesehatan. Kerja sama ini diharapkan dapat mempercepat akses terhadap teknologi medis yang aman, inovatif, dan berkualitas.
Pesatnya perkembangan teknologi seperti Software as a Medical Device (SaMD), kecerdasan buatan (AI), Internet of Things (IoT), serta alat diagnostik mandiri menuntut respons regulasi yang harmonis dan adaptif. Pelatihan ini menjadi langkah strategis dalam membangun pemahaman bersama mengenai standar teknis, pelaporan kejadian tidak diinginkan (adverse events), serta pengawasan pasca pasar.
Prof. Dante menyampaikan bahwa kegiatan ini sangat penting bagi Indonesia. Melalui pelatihan ini, Indonesia dapat memperkuat regulasi alat kesehatan di dalam negeri sekaligus memahami regulasi negara-negara ASEAN lainnya, sehingga membuka peluang produk alat kesehatan lokal untuk bersaing di pasar global.
“Kami membangun sistem regulasi yang harmonis, efisien, dan responsif terhadap inovasi. Ini penting untuk memastikan keselamatan pasien dan efisiensi proses perizinan,” jelas Prof. Dante.
Wamenkes juga menyinggung pengalaman Indonesia saat menghadapi pandemi COVID-19, di mana terjadi keterbatasan akses terhadap alat kesehatan, termasuk alat pelindung diri dan masker. Ia menekankan pentingnya penguatan industri dalam negeri untuk memastikan kemandirian nasional di masa depan.
“Tahap demi tahap TKDN-nya mulai ditingkatkan kandungan dalam negerinya, sehingga nanti kita bisa memproduksi sendiri, dan mungkin bisa ekspor ke beberapa negara,” jelas Prof. Dante.
Meskipun masih bergantung pada impor bahan baku aktif obat (active pharmaceutical ingredients) dari India dan Tiongkok, Indonesia telah menunjukkan kemajuan signifikan dalam produksi alat kesehatan. Beberapa produk bahkan telah berhasil diekspor ke Jepang, menandai kemajuan industri medical devices nasional.
Simposium yang diselenggarakan dalam rangkaian kegiatan ini membahas berbagai isu dari perspektif global dan regional, termasuk pembaruan dari International Medical Device Regulators Forum (IMDRF), prakualifikasi WHO untuk alat diagnostik in vitro (IVD), serta pemanfaatan SaMD oleh industri Jepang, seperti computer-aided detection (CADe) dan computer-aided diagnosis (CADx). ASEAN Medical Device Committee (AMDC) turut memaparkan perkembangan terbaru dan arah kebijakan harmonisasi regulasi di tingkat regional.
SUMBER : farmalkes.kemkes.go.id